Desaintoday.com, Batam || Sejumlah suku di Indonesia memiliki upacara kematian tersendiri, termasuk suku Batak. Dalam adat Batak, orang mati akan menerima perlakuan khusus dalam sebuah upacara, sesuai usia dan status sosialnya. Jika mati dalam kandungan (mate di bortian), ia akan langsung dikubur. Tapi, jika mati ketika bayi (mate poso-poso), kanak-kanak (dakdanak), remaja, atau dewasa belum menikah (bulung), ia mendapat perlakuan adat.
Sebelum dikubur, jasadnya dittutupi sehelai ulos. Ulos itu diberikan oleh orang tuanya, sedangkan kalau matedakdanak dan bulung, ulos diterima dari tulang (saudara laki-laki ibu).
Upacara adat yang diselenggarakan akan semakin kompleks dan banyak ritual, jika seseorang mati dalam keadaan telah berumah tangga tapi belum punya anak (mate di paralang-alangan/mate punu), meninggalkan anaknya yang masih kecil (mate mangkar), telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa dan menikah tapi belum punya cucu (mate hatungganeon), sudah punya cucu tapi masih ada anak yang belum menikah, dan sudah bercucu tidak harus dari semua anaknya (mate saur matua).
Orang yang mate saur matua itulah yang kedudukannya paling tinggi dalam upacara adat Batak karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Kematian ini dianggap ideal karena tidak memiliki tanggungan anak lagi. Saur matua disebut juga kematian yang sempurna.
Ketika orang Batak mati saur matua, pihak kerabat secepatnya bermusyawarah (martonggo raja) membahas persiapan upacara, meliputi waktu upacara, lokasi pemakaman, acara adat pasca penguburan, dan keperluan teknis upacara.
Pihak kerabat terdiri dari dalihan natolu, sistem hubungan sosial masyarakat Batak yang berasal dari tiga kelompok unsur kekerabatan, yakni hula-hula (keluarga marga pihak istri), dongan tubu (teman atau saudara semarga), dan boru (keluarga perempuan pihak ayah atau suami).
Keperluan teknis yang dimaksud biasanya terkait penyediaan peralatan upacara, misalnya peti mati, alat musik beserta pemain, peralatan makan, dan hidangan yang akan disuguhkan untuk para pelayat.
Martonggo raja digelar di halaman rumah duka dari sore sampai selesai. Pihak dongan sahuta (masyarakat setempat) turut hadir sebagai pendengar dan biasanya mereka ikut membantu pelaksanaan upacara saur matua.
Penyelenggaraan upacara saur matua tergantung kapan mayat akan disemayamkan. Umumnya upacara ini baru dimulai ketika semua anaknya beserta pihak hula-hula sudah datang. Tak jarang, pelaksanaanya ditunda hingga lebih dari seminggu demi menunggu kedatangan semua anggota keluarga. Sambil menunggu, biasanya dilakukan acara non adat, yakni menyambut kedatangan para pelayat setiap hari sampai upacara saur matua digelar.
Di hari yang telah ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan pada siang hari di ruang terbuka, misalnya halaman rumah duka. Jenazah yang telah dimasukkan ke dalam peti, diletakkan di tengah-tengah anak dan cucu. Bagian kaki peti mengarah ke pintu keluar rumah. Sebelah kanan peti ialah anak laki-laki dengan para istri dan anak, sedangkan di sebelah kiri adalah anak perempuan beserta suami dan anaknya.
Upacara dimulai dengan menghidangkan jamuan makan siang. Pihak penyelenggara biasanya menyajikan nasi dengan lauk hewan kurban (Kerbau atau babi) yang telah dimasak oleh parhobas (juru masak pesta). Setelah makan selesai, acara dilanjutkan dengan ritual pembagian jambar kepada seluruh dalihan natolu sesuai ketentuan adat.
Jambar terdiri dari empat jenis, yakni juhut (daging), hepeng (uang), tor-tor (tarian), dan hata (berbicara). Pembagian jambar hepeng tidak wajib karena sudah digantikan oleh jambar juhut. Hanya orang terpandang yang tetap memberikan hepeng.
Jambar juhut biasanya berupa daging kerbau atau kuda. Daging dipotong oleh parhobas. Potongan daging dibagikan sesuai kedudukan seseorang. Kepala (uluan) untuk para raja adat, kalau sekarang pembawa acara. Leher (rungkung) untuk pihak boru, paha dan kaki (soit) untuk dongan sabutuha, punggung dan rusuk untuk hula-hula, bagian belakang (ihur-ihur) untuk hasuhuton (anak tuan rumah).
Setelah pembagian jambar, acara dilanjutkan dengan pelaksanaan jambar hata. Masing-masing pihak memberikan kata penghiburan untuk anak-anak yang ditinggalkan si mati. Jambar taha dimulai dari hula-hula, dongan sahuta, boru, dan terakhir dongan sabutuha. Setiap pergantian pemberi kata penghiburan, diselingi jambar tor-tor. Semua orang menari tor-tor diiringi musik gondang sabangunan, orkes tradisional Batak.
Pada saat menari tor-tor atau manortor, para tulang menyelimutkan ulos ragi iduk langsung ke badan mayat, sementara bona tulang dan bona ni ari memberikan ulos sibolang. Ulos itu dibentangkan di atas peti mati sebagai tanda kasih saya terakhir. Lalu, pihak hula-hula memakaikan ulos kepada boru dan hela (menantu) sebagai simbol pasu-pasu (berkat).
Pihak hula-hula meletakkan ulos sibolang sebagai ulos simpetua di bahu istri atau suami yang ditinggalkan. Kemudian, hula-hula dan tulang memberikan ulos panggabei kepada semua keturunan si mayat, dari yang tertua sampai paling bungsu. Setelah itu, semua perempuan dari rombongan tulang menari tor-tor sambil menjunjung boras sipiritondi (beras tepung tawar) untuk memberi berkat dan memperkuat tondi (roh).
Setelah jambar tor-tor selesai, pihak hasuhuton secara bergantian menyampaikan balasan kepada pihak-pihak yang memberikan jambar hata. Sambil manortor, mereka mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu pelaksanaan upacara.
Setelah semua ritus selesai, upacara adat ditutup dengan ibadah singkat sebelum penguburan yang dipimpin pihak gereja. Mulai dari nyanyian rohani pembuka, khotbah, nyanyian rohani penutup, dan doa penutup.
Kemudian, jenazah bersama peti mati pun dikuburkan. Sepulang penguburan, pihak keluarga melakukan ritual adat ungkap hombing, yaitu memberikan sebagian harta mendiang kepada pihak hula-hula.
Sumber : owntalk.co.id
Editor : rml008